CIMSAlert : dr. Adila Taufik Syamlan

CIMSALERT 1.0: Pemberdayaan Telemedicine di Kala Pandemi

Greetings, CIMSA!

Berhubung CIMSA telah memasuki tahun kepengurusan yang baru, tentunya CIMSAlert juga hadir dengan konten-konten yang baru dan tidak kalah menarik dari edisi-edisi sebelumnya. 

Pada CIMSAlert edisi kali ini, kami akan membahas mengenai Pemberdayaan Telemedicine di Kala Pandemi. Akan tetapi, sebelum memulai ada baiknya kami jelaskan sedikit mengenai apa itu telemedicine dan sepertinya akan lebih afdal untuk membicarakannya dengan orang yang ahli di bidang ini. Maka dari itu, kami berkesempatan mewawancarai dr. Adila Taufik Syamlan, seorang mantan member SCORP angkatan 2011 yang pernah menjabat menjadi Regional Coordinator Kaukus VII. Penasaran ‘kan? Yuk, simak lebih lanjut!

Sebenarnya apa sih dok telemedicine itu dan apakah keuntungan layanan tersebut di masa pandemi ini?

Telemedicine itu seperti konsultasi biasa cuman virtual, jadi kamu tidak langsung bertemu dengan pasien. Di telemedicine ini sendiri kalau kita lihat dalam pandemi sekarang itu jadi sangat memudahkan, aku ngerasa banget karena waktu aku awal pertama kali saat awal COVID masuk di Depok, Bogor, dan Jakarta itu kunjungan orang ke klinik jadi turun banget karena rata-rata pasien takut untuk ke klinik atau ke dokter karena COVID. Maka dari itu, mereka menggunakan telemedicine ini sebagai media untuk konsultasi dengan dokter umum. Jadi melakukan konsultasi biasa tanpa pemeriksaan fisik. Cuman untuk beberapa pemeriksaan yang membutuhkannya, seperti kasus lesi di kulit, bisa kita minta foto, atau misal ada kelainan lain yg bisa dilihat kasat mata bisa minta foto orangnya, secara general seperti itu.

Oh iya, dokter Adila sendiri pernah terdaftar di halodoc ya. Itu dari kapan dok, apakah sampai sekarang?

Benar, aku pertama mendaftar sekitar akhir 2019. Tapi, aku berhenti awal Januari 2021 karena mau persiapan untuk sekolah lagi, jadi aku resign.

Berarti dokter Adila pernah berkesempatan untuk menangani pasienpasien COVID ya dok. Kriteria pasien yang boleh menggunakan layanan tersebut seperti apa saja ya dok

Waktu aku pas jaman itu, telemedicine digunakan untuk OTG (Orang Tanpa Gejala) dan yang gejalanya ringan. Akan tetapi, COVID-19 ini spektrum gejalanya luas banget, kita juga ga tutup kemungkinan bahwa pasien yang OTG dan kasus ringan itu tidak bisa menggunakan telemedicine karena akhir-akhir ini banyak kasus dari OTG atau kasus yang ringan 2-3 hari masih tidak apa-apa, tetapi hari ke 4-5 kasusnya jadi sedang ke berat. Nah, misalkan tiba-tiba dia sesak atau demamnya makin tinggi itu harus segera dirujuk ke rumah sakit. 

Untuk tata laksana penanganannya seperti apa dulu dok?

Kalau penanganannya dulu kita diagnosanya gini, jadi kita punya beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan ke pasien, nanti kita melihat apakah masuk ke faktor risiko ringan, sedang, atau berat. Untuk pasien yang memiliki gejala sedang dan berat biasanya kita menyarankan untuk ke klinik, nanti kita beri referral agar pasiennya bisa rapid antigen nanti dia langsung ke link ke account kita. Dari situ, kita bisa tau dia positif atau tidak, dan apakah keluhannya masih sama. Dulu, kita masih punya kewenangan untuk memberi obat untuk simptomatik COVID-19 selama dia gejalanya ringan atau sekiranya dia masih bisa

isoman bisa kita berikan antibiotik seperti azithromycin. Tetapi, itu juga harus dengan hati-hati kasihnya. 

Apakah penanganannya masih sama dok sekarang?

Kalau sekarang ini sistemnya follow up, misalkan ada pasien terdiagnosa positif tapi dia OTG, kasus ringan, atau sedang. Nanti dia akan otomatis ter-follow up selama 14 hari sama dokternya. Dokternya akan bertanya keluhannya seperti apa, misal dia anosmia terus apakah ada perbaikan kondisi atau engga atau ada perburukan kondisi, nanti si dokter yang akan menyarankan pasien tersebut untuk langsung ke rumah sakit atau tidak.

Dengan pesatnya perkembangan layanan telemedicine di Indonesia, menurut dokter bagaimana caranya agar kita bisa membujuk masyarakat awam untuk mulai terbiasa menggunakannya?

Sebenernya ini PR buat kita dari dulu sih ya. Menurutku, promosinya harus gencar dan kita harus menanamkan bahwa “kesehatan itu mahal tapi orang sakit itu lebih mahal.” Contohnya nih, misalkan banyak orang yang bisa beli rokok ketimbang berkunjung ke dokter. Padahal, kalau kamu beli rokok nih ya…harga satu bungkus rokok itu bisa kamu gunakan untuk berobat ke puskesmas atau telemedicine. Itu yang harus ditekankan. Masyarakat biasanya baru periksa kalau mereka benar-benar sakit, belum tertanam mindset bahwa lebih baik menjaga daripada mengobati.

Terima kasih banyak dokter Adila atas penjelasannya. Terakhir nih dok, apakah dokter memiliki pesan untuk para members CIMSA?

Always weigh your options. Dengan seiring perkembangan jaman dan juga banyaknya informasi yang beredar di internet, sekarang mejadi dokter itu udah beda banget sama jaman dulu. Why? Karena pasien sekarang memiliki akses untuk berbagai macam informasi, sehingga secara tidak langsung sebagai dokter kita sekarang dituntut untuk terus memperbarui ilmu dan tidak jarang juga akan ada pasien yang berbeda pendapat dengan kita. Jadi, pertimbangkan keputusan kamu matang-matang karena untuk beberapa orang hal ini tentunya bisa menjadi stressor. Selain itu, explore new opportunities. Apalagi untuk para members CIMSA yang memiliki banyak sekali kesempatan yang bisa kalian jadikan sebagai tempat untuk belajar dan memperbanyak pengalaman serta koneksi. Dengan begitu, kamu jadi lebih siap dan tau apa yang kamu mau untuk diri kamu kedepannya.

Sekian wawancara kami bersama dengan dr. Adila Taufik Syamlan mengenai Pemberdayaan Telemedicine di Kala Pandemi. Good luck dokter untuk PPDS-nya, semoga sehat selalu ya dok! Untuk teman-teman, jangan lupa nantikan CIMSAlert edisi berikutnya ya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *